Keesokan harinya setelah peristiwa bersejarah mengejutkan itu, Chika kembali dikejutkan dengan perubahan sikap Nadia yang jadi suka merapikan poninya setiap saat. Maksudnya, Nadia dulu kan bukan tipikal cewek yang suka bawa-bawa kaca pas pelajaran dan ngaca tiap 3 menit sekali, tapi sekarang ? Wow ! Nadia bawa kaca mini yang bentuknya Hello Kitty gitu ke kelas, dan ini sudah kali ke-5 dia ngaca sejak masuk pelajaran Sosiologi.
“Eh Nad, lo kesambet ?” Chika tak tahan lagi untuk tidak menegurnya.
“Eh kenapa Chik ?” Nadia tidak menoleh tapi masih mencoba berbagai expresi untuk mengetes dia sudah cantik atau belum, “gue udah cantik Chik?” tanyanya kemudian. Chika hanya mengangguk malas dan kembali berkonsentrasi pada pelajaran sambil sesekali menyenggol siku Nadia kalau kelakuan sahabatnya itu sudah melenceng jauh.
Saat istirahat, Chika menarik Nadia ke bangku taman di Sentosa. “Lo,” katanya sambil menunjuk tepat muka Nadia,” sejak kapan lo suka sama Baro whatever itu ? Maksud gue gini yah Nad, sejauh ini emang kita berdua suka sama boyband korea , gue suka Kyuhyun dan lo dulu juga suka Donghae, tapi kan Cuma sebatas fangirl kan ? Cuma mengidolakan Naad, bukannya jatuh cinta sama idola!!”
Nadia hanya terdiam, tapi lantas menunduk dan berkata pelan, “Gue tau Chik, gue tau ini nggak mungkin bisa gue raih, tapi gue bisa apa Chik? Gue bisa apa kalau emang gue jatuh cinta sama Baro ? Gue salah ? Iya ? Gue suka sama cowok aja salah ya buat lo?” Nadia tetap menunduk.
Chika menahan nafas demi mendengar kata-kata Nadia tadi, batinnya bersikeras meyakinkan kalau Nadia sama sekali nggak salah karena yang namanya rasa cinta emang sukanya dateng nggak minta izin sama yang punya hati. Tapi dalam kasusnya, ini beda bangeet!
Chika pernah baca di berbagai post di internet tentang seorang fangirl yang mengidolakan seorang actor sampai benar-benar terobsesi dan merasa memiliki, akhirnya buruk. Fans itu akhirnya nggak sanggup melihat waktu idolanya menikah dan dia bunuh diri, jelas aja Chika nggak mau Nadia sampai kaya gitu.
“Gue, gue Cuma khawatir kok Nad sama lo. Gue takut ini semua bakal mengganggu hidup lo, ganggu sekolah lo dan keadaan psikis lo, gue Cuma khawatir Nad, gue nggak nyalahin lo juga kan ?” Chika menatap Nadia lembut sambil memegang bahunya.
“Chika, lo percaya sama gue deh. Gue bisa kok menangani perasaan ini, gue juga lagi belajar Chik, karena ini pertama kalinya gue suka, gue beneran jatuh cinta sama seorang cowok,” Nadia tersenyum meyakinkannya, “nanti pulang sekolah, mampir Gramedia yah Chik ?”
“Ngapain? Lo mau jajan es pisang ijo yang di depan Gramed?” Tanya Chika dengan ekspresi polosnya.
“Bukan Chikaa, gue mau beli majalah TAC yang edisi B1A4, bonusnya poster member, hehehe, semoga aja gue dapet yang Baro yah Chik?” Nadia berkata penuh harap.
Chika memandang prihatin dan berjalan ke kantin, meninggalkan Nadia dengan segala imajinya tentang Baro.
Bel berdering nyaring 3 kali, memberikan aura kegembiraan yang meluap-luap bagi setiap insan siswa siswi SMA Sentosa, sekolah swasta yang terkenal di daerah Cilandak itu. Kenapa ? Karena bel 3 kali itu tanda pulang sekolah, tanda kalau mereka sudah terbebas dari hawa ngantuk yang dihadiahkan tiap guru mapel terakhir untuk tiap siswa. Audrey, Chika, Risma, dan Nadia melangkah keluar dari XII IPS 1 dengan berbagai ekspresi yang berbeda. Audrey sedikit melangkah tergesa-gesa dan membawa banyak tentengan, katanya dia harus buru-buru ke JNE buat ngirim paket-paket itu, pekerjaan sampingannya ngurusin butik online memang menuntutnya untuk jarang-jarang bisa menikmati waktu luang, tapi rezekinya lapang.
Risma yang berjalan tanpa ekspresi, datar dan pelan, gadis oriental ini yang akan membawa Chika dan Nadia ke Gramedia, maklum, Risma kan yang ke sekolah naik Picanto hijau, nggak kaya Chika yang diantar kakaknya ataupun Nadia yang jalan kaki, secara rumah Nadia Cuma selisih 5 rumah dari SMA Sentosa.
Chika dengan muka manyun karena ngantuk berat dan dibangunkan di tengah mimpi indah oleh Pak Yono, guru sejarahnya. Pengennya langsung aja telfon Bang Dika buat minta dijemput, tapi apa daya, udah terlanjur janji sama Nadia.
Dan Nadia, gadis keturunan Bandung yang kali ini rambutnya dikepang ala Han Ji Eun di serial drama korea Full House. Hanya Nadia yang menampakkan wajah berseri-seri dan super semangat meskipun siang itu matahari membakar Jakarta dengan suhu 33o nya.
“Lo mau beli apaan sih di Gramed?” Tanya Risma memecah keheningan, tapi masih tanpa ekspresi.
“Mana ekspresi lo?” gurau Chika yang hanya dibalas dengan tatapan datar dari Risma, Chika langsung mengkeret.
“Beli majalah dong Chik, sebagai pemuda yang aktif mengikuti perkembangan zaman, kita tuh harus selalu update sama masalah-masalah teraktual di sekitar kita,” jawab Nadia bangga.
“Halaaah, palingan majalah yang covernya 13 cowok pake jas item-item itu kan ?” sahut Risma, datar lagi.
Chika manyun, “Itu namanya Super Junior Ris, dan ketahuan banget kalo lo emang kurang update, gambar cover pas 13 orang itu udah kapan tahun, sekarang tinggal 10 orang Ris,”
“Yang 3 kemana emang ? Naturalisasi jadi penduduk Indonesia ?” Risma bertanya ngaco.
“You wish! Nggak laaah, mereka pada keluar gitu deh, eh tapi secara baik-baik looh, nggak kaya artis Indonesia yang sukanya tau-tau keluar dengan meninggalkan banyak masalah,hehehe” jawab Chika.
Risma hanya diam. Dia nggak terlalu suka korea dan semacamnya, tapi dia suka banget sama Lee Young Jae di Full House, maniak sih dia kalau sama Rain. Eh dan satu lagi, suka sama Lee Joon karena menurut Risma, kaya pinang dibelah ¾ sama mas Rain, agak miripan gitu loh.
“Aduh mulai deh yaa fanwar, buruan yuk Ris! Ntar Gramedia nya keburu hilang lagi,” Nadia berjalan tergesa-gesa sementara Risma dan Chika saling tatap seolah-olah mau protes ‘siapa juga yang fanwar?’ dan ‘sejak kapan Gramedia mendadak hilang?’, tapi mereka berdua juga langsung saja mengikuti langkah Nadia.
Tak berapa lama, Picanto hijau metalik milik Risma sudah terparkir di halaman Gramedia dan Nadia lah yang pertama kali turun lantas berlari menuju rak-rak majalah. Risma hanya menatap tingkah temannya itu, datar. Dan Chika mengelus dada serta memastikan tidak ada orang yang menyadari kalau Nadia tadi turun dari mobil yang sama dengannya. Fyuuuh, gawat juga kalau dikira 1 mobil sama orang lagi gila, gila cinta maksudnyaa, haha.
“Gimana Nad ? Masih ada majalahnya?” Tanya Risma, tangannya sudah mengenggam The Naked Traveler 3.
“Belum ketemu Ris, Chik,” Nadia berkata sendu, hampir menangis karena di mataya sudah mulai tampak lapisan lapisan air yang bisa pecah kapan saja. Chika tidak tega melihatnya.
“Ya udah, berarti disini abis, ntar gue mintain deh ke loper Koran langganan gue, kali aja masih nyimpenin TAC, gue nggak ngerti sih lo jadi suka sama Baro, kemaren gue bokek, jadi nggak ngambil deh TAC nya, sorry ya Nad,” Chika merasa bersalah sudah menolak majalah yang diantarkan oleh loper langganan keluarganya, biasa, masalah klasik anak SMA, duit jajan kurang melulu,
Risma membetulkan letak kacamatanya, “Gue juga ngerti Nad, lo pasti sedih dan kecewa, tapi nggak ada gunanya kan nangis disini? Gue nggak mau dikira nyulik anak orang sampe nangis-nangis gitu, mending lo balik lagi deh ke mobil sama Chika, gue bayar ini dulu, terus beli es pisang ijo 3 porsi buat kita, oke?”, Risma memang pengertian meskipun tidak ditunjang dengan raut wajah yang lebih meyakinkan.
Chika menggandeng Nadia kembali ke mobil, Nadia sesenggukan. Oh God, ternyata begitu tooh kalau first love nggak keturutan, ckckckck. Chika menggumam dalam hati.
Rumah Chika, sore hari setelah kejadian di Gramedia tadi
“Chik, dari mana sih lo ? Hobi banget pulang sekolah keluyuran,” cibir Bang Dika, kakaknya yang games freak itu.
Chika manyun, hobinya emang manyun, bukan keluyuran, “Nggak kali bang, siapa juga yang keluyuran ? Tadi Chika ke Gramedia dulu sama Risma sama Nadia, jadi pulang telat,” jelasnya.
“Ecieee, ngapain coba ke Gramed? Hahaha, berburu majalah poster yang segede A2 dan gambarnya cowok pake baju leopard pink itu?” sahut Dika sambil mengungkit-ungkit peristiwa dimana Chika rela basah kuyup kehujanan demi selembar posternya Leeteuk ahjussi di cover album 5JIB.
Mendengar idolanya dibawa-bawa, Chika sontak jengkel setengah mati sama abangnya ini, “Ah diem lo, bang! Gue tonjok nih!” ancamnya sambil mengepalkan tangan kanannya. Dika membuat gerakan menaikkan kedua tangannya sambil mengangguk minta ampun.
Chika segera melangkah menaiki anak tangga marmer itu, badannya udah teriak minta diguyur air, seharian beraktifitas memang sangat menguras tenaga dan menghasilkan beberapa meter kubik keringat pastinya, tapi suara Dika menahannya, “Deek, tuh pak Karyo dateng, dia Tanya jadinya mau ngambil majalah langganan lo atau enggak ??”
“Jadii, jadi kak! Jadi bangeet pokoknya, bayarin dulu ya kak, ngutang, ntar abis mandi Chika ganti kok !” teriaknya dari lantai 2 yang pastinya langsung disambut dengan cacian Dika, “Dasaar! Ngefans kok nggak modal!”, Dika lantas mengulurkan sejumlah uang dan mengambil 2 majalah itu. Yang 1 majalah PC Media punyanya dan 1 majalah bergambar 5 cowok imut dengan tulisan B1A4 segede lemari Barbie di atas kepala mereka.
“B1A4? Buseet Chika, aneh-aneh aja nama band idolanya, tiap bulan ganti-ganti covernya, kemaren bukannya yang terakhir itu Shining ya?” kata Dika sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tapi karena penasaran dengan nama aneh itu, justru Dika malah membuka majalah itu dan mulai asyik membacanya.
“Ecieee, ada yang namanya Sandal pun disini, lucu-lucu namanya, haha,” Dika terus saja berkomentar sambil membaca. Sebenernya sih tulisannya Sandeul, Dika aja yang agak odong, jadi salah baca deh. Sambil terus membaca, tiba-tiba sudut matanya tertumpu pada sebuah gambar kecil di halaman itu, sebuah wajah yang menurut Dika sih sudah tidak asing lagi, sangat familiar. Dan dibawahnya ada biodatanya. Pelan Dika membacanya, “Cha Sun Woo, stage name, Baro. Hmm, Baro ya ? Baru pertama kali denger sih, tapi kok ini mukanya kaya kenal banget ya?” gumamnya lagi.
Tanpa sadar, Dika meraba hidungnya sendiri, lalu tulang pipinya, dan menoleh ke kaca besar berukir di ruang keluarganya itu. Mengamati setiap jengkal wajahnya. Dia tersenyum, menirukan berbagai ekspresi di foto Baro sampai akhirnya dia histeris sendiri, lantas segera berlari menuju kamar mandi lantai 2.
“Deeek!! Deeek buruan cepetan mandinya, dek!” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.
“Apa sih bang ? Nggak jelas banget deh, orang lagi mandi juga. Abang kepengen buang sampah di perut abang itu? Pake yang di kamar abang dong! Atau di kamar mandi bawah, ribet amat sih jadi cowok!” balas Chika tak kalah kerasnya.
“Eciee nih anak bener-bener semena-mena sama abangnya deh ya! Buruan dek, ada fakta menarik dan aktual yang harus lo lihat serta lo selami kebenarannya!” teriak Dika lagi.
Mau tidak mau Chika mempercepat aktifitas mandi menyenangkannya demi membuat Dika berhenti menggedor pintu dan meneriakkan hal-hal yang semakin meyakinkan Chika kalau abangnya yang satu itu benar-benar mengidap penyakit jiwa tingkat dewa.
Kreeek!
Pintu kamar mandi terbuka.
“Udah, udah kelar! Sekarang lo mau ngapain bang?” Chika berkata dengan intonasi sangat ketus, belum sempat Dika menjawab, dia meneruskan lagi, “Lo bilang ‘eciee’ gue pecat jadi abang nih!”
Dika langsung tampak terkejut, “Punya adek satu, cewek, tapi bener-bener kelakuannya beda tipis sama penjaga makam di TPA Tanah Kusir, haduuh, sabar deh Dik, sabar. Cobaan buat orang ganteng emang aneh-aneh dan bervariasi,” kata Dika dengan ekspresi seolah-olah sedang menanggung beban yang berat. Chika jadi makin eneg sama abangnya yang rempong gila ini.
“Sorry bang, sorry, abis abang sih, kurang kerjaan banget dari tadi ganggu Chika terus. Kenapa emang? Sepenting apa sih bang?” Chika mulai melunak. “Chika, tadi gue baca majalah lo, yang ini nih,” kata Dika sambil menunjukkan majalah itu. Chika hanya mengangguk. “Dan ini nih, ada gambar ini,” Dika menunjuk tepat di foto Cha Sun Woo, “ini, cowok ini, mirip bangeeet kan Chik sama gue?!” teriaknya histeris.
Chika melotot. Tak percaya dengan apa yang barusan dibilang oleh kakak laki-lakinya itu, dan segera masuk lagi ke kamar mandi.
“Woi Chiiik, kok malah masuk lagi ? Mandinya udah kelar kan ?” Dika yang bingung dengan sikap Chika kembali menggedor pintu kamar mandi. Terdengar teriakan dari dalam, “Nggak bang, gue Cuma mau berendam lebih lama lagi, soalnya kayanya barusan gue mimpi buruk, abang gue narsis tingkat dewa, sampai berkhayal kalau dia mirip sama artis Korea, jadi mungkin gue harus lebih lama rileksasi nya bang, sorry, ntar kalo gue udah memastikan untuk kembali ke ritme hidup gue yang semestinya, gue samperin lo kok bang, sorry ya!”
For the God’s sake !
Apa-apaan itu tadi ??
Abangnya, Andika Iqbal Kurniawan, yang rempong, yang jutek, cuek, hobi nge-game dan menjahilinya, yang mukanya tampan meski Chika nggak mau mengakuinya, yang pintar dan sangat menyayangi hewan langka itu. Iya, abangnya yang itu, masih sama, abangnya yang dengan segala tingkah aneh dan karismanya, baru saja mendeklarasikan kalau dirinya mirip dengan Baro B1A4 ??
Lemas Chika duduk diatas kloset dan memijat kepalanya yang terserang migrain mendadak.