Jumat, 21 Oktober 2011

[novel] When My brother meet my best friend - Chapter 2

CHAPTER 2



Keesokan harinya setelah peristiwa bersejarah mengejutkan itu, Chika kembali dikejutkan dengan perubahan sikap Nadia yang jadi suka merapikan poninya setiap saat. Maksudnya, Nadia dulu kan bukan tipikal cewek yang suka bawa-bawa kaca pas pelajaran dan ngaca tiap 3 menit sekali, tapi sekarang ? Wow ! Nadia bawa kaca mini yang bentuknya Hello Kitty gitu ke kelas, dan ini sudah kali ke-5 dia ngaca sejak masuk pelajaran Sosiologi.

“Eh Nad, lo kesambet ?” Chika tak tahan lagi untuk tidak menegurnya.

“Eh kenapa Chik ?” Nadia tidak menoleh tapi masih mencoba berbagai expresi untuk mengetes dia sudah cantik atau belum, “gue udah cantik Chik?” tanyanya kemudian. Chika hanya mengangguk malas dan kembali berkonsentrasi pada pelajaran sambil sesekali menyenggol siku Nadia kalau kelakuan sahabatnya itu sudah melenceng jauh.

Saat istirahat, Chika menarik Nadia ke bangku taman di Sentosa. “Lo,” katanya sambil menunjuk tepat muka Nadia,” sejak kapan lo suka sama Baro whatever itu ? Maksud gue gini yah Nad, sejauh ini emang kita berdua suka sama boyband korea, gue suka Kyuhyun dan lo dulu juga suka Donghae, tapi kan Cuma sebatas fangirl kan ? Cuma mengidolakan Naad, bukannya jatuh cinta sama idola!!”

Nadia hanya terdiam, tapi lantas menunduk dan berkata pelan, “Gue tau Chik, gue tau ini nggak mungkin bisa gue raih, tapi gue bisa apa Chik? Gue bisa apa kalau emang gue jatuh cinta sama Baro ? Gue salah ? Iya ? Gue suka sama cowok aja salah ya buat lo?” Nadia tetap menunduk.

Chika menahan nafas demi mendengar kata-kata Nadia tadi, batinnya bersikeras meyakinkan kalau Nadia sama sekali nggak salah karena yang namanya rasa cinta emang sukanya dateng nggak minta izin sama yang punya hati. Tapi dalam kasusnya, ini beda bangeet!

Chika pernah baca di berbagai post di internet tentang seorang fangirl yang mengidolakan seorang actor sampai benar-benar terobsesi dan merasa memiliki, akhirnya buruk. Fans itu akhirnya nggak sanggup melihat waktu idolanya menikah dan dia bunuh diri, jelas aja Chika nggak mau Nadia sampai kaya gitu.

“Gue, gue Cuma khawatir kok Nad sama lo. Gue takut ini semua bakal mengganggu hidup lo, ganggu sekolah lo dan keadaan psikis lo, gue Cuma khawatir Nad, gue nggak nyalahin lo juga kan?” Chika menatap Nadia lembut sambil memegang bahunya.

“Chika, lo percaya sama gue deh. Gue bisa kok menangani perasaan ini, gue juga lagi belajar Chik, karena ini pertama kalinya gue suka, gue beneran jatuh cinta sama seorang cowok,” Nadia tersenyum meyakinkannya, “nanti pulang sekolah, mampir Gramedia yah Chik ?”

“Ngapain? Lo mau jajan es pisang ijo yang di depan Gramed?” Tanya Chika dengan ekspresi polosnya.

“Bukan Chikaa, gue mau beli majalah TAC yang edisi B1A4, bonusnya poster member, hehehe, semoga aja gue dapet yang Baro yah Chik?” Nadia berkata penuh harap.

Chika memandang prihatin dan berjalan ke kantin, meninggalkan Nadia dengan segala imajinya tentang Baro.


Bel berdering nyaring 3 kali, memberikan aura kegembiraan yang meluap-luap bagi setiap insan siswa siswi SMA Sentosa, sekolah swasta yang terkenal di daerah Cilandak itu. Kenapa ? Karena bel 3 kali itu tanda pulang sekolah, tanda kalau mereka sudah terbebas dari hawa ngantuk yang dihadiahkan tiap guru mapel terakhir untuk tiap siswa. Audrey, Chika, Risma, dan Nadia melangkah keluar dari XII IPS 1  dengan berbagai ekspresi yang berbeda. Audrey sedikit melangkah tergesa-gesa dan membawa banyak tentengan, katanya dia harus buru-buru ke JNE buat ngirim paket-paket itu, pekerjaan sampingannya ngurusin butik online memang menuntutnya untuk jarang-jarang bisa menikmati waktu luang, tapi rezekinya lapang.

Risma yang berjalan tanpa ekspresi, datar dan pelan, gadis oriental ini yang akan membawa Chika dan Nadia ke Gramedia, maklum, Risma kan yang ke sekolah naik Picanto hijau, nggak kaya Chika yang diantar kakaknya ataupun Nadia yang jalan kaki, secara rumah Nadia Cuma selisih 5 rumah dari SMA Sentosa.

Chika dengan muka manyun karena ngantuk berat dan dibangunkan di tengah mimpi indah oleh Pak Yono, guru sejarahnya. Pengennya langsung aja telfon Bang Dika buat minta dijemput, tapi apa daya, udah terlanjur janji sama Nadia.

Dan Nadia, gadis keturunan Bandung yang kali ini rambutnya dikepang ala Han Ji Eun di serial drama korea Full House. Hanya Nadia yang menampakkan wajah berseri-seri dan super semangat meskipun siang itu matahari membakar Jakarta dengan suhu 33o nya.

“Lo mau beli apaan sih di Gramed?” Tanya Risma memecah keheningan, tapi masih tanpa ekspresi.

“Mana ekspresi lo?” gurau Chika yang hanya dibalas dengan tatapan datar dari Risma, Chika langsung mengkeret.

“Beli majalah dong Chik, sebagai pemuda yang aktif mengikuti perkembangan zaman, kita tuh harus selalu update sama masalah-masalah teraktual di sekitar  kita,” jawab Nadia bangga.

“Halaaah, palingan majalah yang covernya 13 cowok pake jas item-item itu kan?” sahut Risma, datar lagi.

Chika manyun, “Itu namanya Super Junior Ris, dan ketahuan banget kalo lo emang kurang update, gambar cover pas 13 orang itu udah kapan tahun, sekarang tinggal 10 orang Ris,”

“Yang 3 kemana emang ? Naturalisasi jadi penduduk Indonesia?” Risma bertanya ngaco.

“You wish! Nggak laaah, mereka pada keluar gitu deh, eh tapi secara baik-baik looh, nggak kaya artis Indonesia yang sukanya tau-tau keluar dengan meninggalkan banyak masalah,hehehe” jawab Chika.

Risma hanya diam. Dia nggak terlalu suka korea dan semacamnya, tapi dia suka banget sama Lee Young Jae di Full House, maniak sih dia kalau sama Rain. Eh dan satu lagi, suka sama Lee Joon karena menurut Risma, kaya pinang dibelah ¾ sama mas Rain, agak miripan gitu loh.

“Aduh mulai deh yaa fanwar, buruan yuk Ris! Ntar Gramedia nya keburu hilang lagi,” Nadia berjalan tergesa-gesa sementara Risma dan Chika saling tatap seolah-olah mau protes ‘siapa juga yang fanwar?’ dan ‘sejak kapan Gramedia mendadak hilang?’, tapi mereka berdua juga langsung saja mengikuti langkah Nadia.


Tak berapa lama, Picanto hijau metalik milik Risma sudah terparkir di halaman Gramedia dan Nadia lah yang pertama kali turun lantas berlari menuju rak-rak majalah. Risma hanya menatap tingkah temannya itu, datar. Dan Chika mengelus dada serta memastikan tidak ada orang yang menyadari kalau Nadia tadi turun dari mobil yang sama dengannya. Fyuuuh, gawat juga kalau dikira 1 mobil sama orang lagi gila, gila cinta maksudnyaa, haha.

“Gimana Nad ? Masih ada majalahnya?” Tanya Risma, tangannya sudah mengenggam The Naked Traveler 3.

“Belum ketemu Ris, Chik,” Nadia berkata sendu, hampir menangis karena di mataya sudah mulai tampak lapisan lapisan air yang bisa pecah kapan saja. Chika tidak tega melihatnya.

“Ya udah, berarti disini abis, ntar gue mintain deh ke loper Koran langganan gue, kali aja masih nyimpenin TAC, gue nggak ngerti sih lo jadi suka sama Baro, kemaren gue bokek, jadi nggak ngambil deh TAC nya, sorry ya Nad,” Chika merasa bersalah sudah menolak majalah yang diantarkan oleh loper langganan keluarganya, biasa, masalah klasik anak SMA, duit jajan kurang melulu,

Risma membetulkan letak kacamatanya, “Gue juga ngerti Nad, lo pasti sedih dan kecewa, tapi nggak ada gunanya kan nangis disini? Gue nggak mau dikira nyulik anak orang sampe nangis-nangis gitu, mending lo balik lagi deh ke mobil sama Chika, gue bayar ini dulu, terus beli es pisang ijo 3 porsi buat kita, oke?”, Risma memang pengertian meskipun tidak ditunjang dengan raut wajah yang lebih meyakinkan.

Chika menggandeng Nadia kembali ke mobil, Nadia sesenggukan. Oh God, ternyata begitu tooh kalau first love nggak keturutan, ckckckck. Chika menggumam dalam hati.



Rumah Chika, sore hari setelah kejadian di Gramedia tadi

“Chik, dari mana sih lo ? Hobi banget pulang sekolah keluyuran,” cibir Bang Dika, kakaknya yang games freak itu.

Chika manyun, hobinya emang manyun, bukan keluyuran, “Nggak kali bang, siapa juga yang keluyuran ? Tadi Chika ke Gramedia dulu sama Risma sama Nadia, jadi pulang telat,” jelasnya.

“Ecieee, ngapain coba ke Gramed? Hahaha, berburu majalah poster yang segede A2 dan gambarnya cowok pake baju leopard pink itu?” sahut Dika sambil mengungkit-ungkit peristiwa dimana Chika rela basah kuyup kehujanan demi selembar posternya Leeteuk ahjussi di cover album 5JIB.

Mendengar idolanya dibawa-bawa, Chika sontak jengkel setengah mati sama abangnya ini, “Ah diem lo, bang! Gue tonjok nih!” ancamnya sambil mengepalkan tangan kanannya. Dika membuat gerakan menaikkan kedua tangannya sambil mengangguk minta ampun.

Chika segera melangkah menaiki anak tangga marmer itu, badannya udah teriak minta diguyur air, seharian beraktifitas memang sangat menguras tenaga dan menghasilkan beberapa meter kubik keringat pastinya, tapi suara Dika menahannya, “Deek, tuh pak Karyo dateng, dia Tanya jadinya mau ngambil majalah langganan lo atau enggak ??”

“Jadii, jadi kak! Jadi bangeet pokoknya, bayarin dulu ya kak, ngutang, ntar abis mandi Chika ganti kok !” teriaknya dari lantai 2 yang pastinya langsung disambut dengan cacian Dika, “Dasaar! Ngefans kok nggak modal!”, Dika lantas mengulurkan sejumlah uang dan mengambil 2 majalah itu. Yang 1 majalah PC Media punyanya dan 1 majalah bergambar 5 cowok imut dengan tulisan B1A4 segede lemari Barbie di atas kepala mereka.

“B1A4? Buseet Chika, aneh-aneh aja nama band idolanya, tiap bulan ganti-ganti covernya, kemaren bukannya yang terakhir itu Shining ya?” kata Dika sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tapi karena penasaran dengan nama aneh itu, justru Dika malah membuka majalah itu dan mulai asyik membacanya.

“Ecieee, ada yang namanya Sandal pun disini, lucu-lucu namanya, haha,” Dika terus saja berkomentar sambil membaca. Sebenernya sih tulisannya Sandeul, Dika aja yang agak odong, jadi salah baca deh. Sambil terus membaca, tiba-tiba sudut matanya tertumpu pada sebuah gambar kecil di halaman itu, sebuah wajah yang menurut Dika sih sudah tidak asing lagi, sangat familiar. Dan dibawahnya ada biodatanya. Pelan Dika membacanya, “Cha Sun Woo, stage name, Baro. Hmm, Baro ya ? Baru pertama kali denger sih, tapi kok ini mukanya kaya kenal banget ya?” gumamnya lagi.

Tanpa sadar, Dika meraba hidungnya sendiri, lalu tulang pipinya, dan menoleh ke kaca besar berukir di ruang keluarganya itu. Mengamati setiap jengkal wajahnya. Dia tersenyum, menirukan berbagai ekspresi di foto Baro sampai akhirnya dia histeris sendiri, lantas segera berlari menuju kamar mandi lantai 2.

“Deeek!! Deeek buruan cepetan mandinya, dek!” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.

“Apa sih bang ? Nggak jelas banget deh, orang lagi mandi juga. Abang kepengen buang sampah di perut abang itu? Pake yang di kamar abang dong! Atau di kamar mandi bawah, ribet amat sih jadi cowok!” balas Chika tak kalah kerasnya.

“Eciee nih anak bener-bener semena-mena sama abangnya deh ya! Buruan dek, ada fakta menarik dan aktual yang harus lo lihat serta lo selami kebenarannya!” teriak Dika lagi.

Mau tidak mau Chika mempercepat aktifitas mandi menyenangkannya demi membuat Dika berhenti menggedor pintu dan meneriakkan hal-hal yang semakin meyakinkan Chika kalau abangnya yang satu itu benar-benar mengidap penyakit jiwa tingkat dewa.

Kreeek!
Pintu kamar mandi terbuka.
“Udah, udah kelar! Sekarang lo mau ngapain bang?” Chika berkata dengan intonasi sangat ketus, belum sempat Dika menjawab, dia meneruskan lagi, “Lo bilang ‘eciee’ gue pecat jadi abang nih!”

Dika langsung tampak terkejut, “Punya adek satu, cewek, tapi bener-bener kelakuannya beda tipis sama penjaga makam di TPA Tanah Kusir, haduuh, sabar deh Dik, sabar. Cobaan buat orang ganteng emang aneh-aneh dan bervariasi,” kata Dika dengan ekspresi seolah-olah sedang menanggung beban yang berat. Chika jadi makin eneg sama abangnya yang rempong gila ini.

“Sorry bang, sorry, abis abang sih, kurang kerjaan banget dari tadi ganggu Chika terus. Kenapa emang? Sepenting apa sih bang?” Chika mulai melunak. “Chika, tadi gue baca majalah lo, yang ini nih,” kata Dika sambil menunjukkan majalah itu. Chika hanya mengangguk. “Dan ini nih, ada gambar ini,” Dika menunjuk tepat di foto Cha Sun Woo, “ini, cowok ini, mirip bangeeet kan Chik sama gue?!” teriaknya histeris.

Chika melotot. Tak percaya dengan apa yang barusan dibilang oleh kakak laki-lakinya itu, dan segera masuk lagi ke kamar mandi.

“Woi Chiiik, kok malah masuk lagi ? Mandinya udah kelar kan?” Dika yang bingung dengan sikap Chika kembali menggedor pintu kamar mandi. Terdengar teriakan dari dalam, “Nggak bang, gue Cuma mau berendam lebih lama lagi, soalnya kayanya barusan gue mimpi buruk, abang gue narsis tingkat dewa, sampai berkhayal kalau dia mirip sama artis Korea, jadi mungkin gue harus lebih lama rileksasi nya bang, sorry, ntar kalo gue udah memastikan untuk kembali ke ritme hidup gue yang semestinya, gue samperin lo kok bang, sorry ya!”

For the God’s sake !
Apa-apaan itu tadi ??
Abangnya, Andika Iqbal Kurniawan, yang rempong, yang jutek, cuek, hobi nge-game dan menjahilinya, yang mukanya tampan meski Chika nggak mau mengakuinya, yang pintar dan sangat menyayangi hewan langka itu. Iya, abangnya yang itu, masih sama, abangnya yang dengan segala tingkah aneh dan karismanya, baru saja mendeklarasikan kalau dirinya mirip dengan Baro B1A4 ??

Lemas Chika duduk diatas kloset dan memijat kepalanya yang terserang migrain mendadak.

Selasa, 18 Oktober 2011

[novel] When My brother meet my best friend - Chapter 1


CHAPTER 1

Jam dinding Super Junior di kamarnya menunjukkan pukul 01.00 dini hari saat tiba-tiba Lollipopnya mengeluarkan ringtone No Other Kyuhyun’s part yang disukai Chika. Tapi toh suara itu hanya membuatnya terbangun untuk mereject telepon masuk itu, bukan malah mengangkatnya.

Tapi Kyuhyun tetep aja tuh nyanyi di handphonenya Chika yang mau tak mau memaksanya mengangkat telepon gila dini hari begitu

“Haloooo ? Lo tau nggak sih ini jam berapa ? Besok aja lah ya nelponnya, daaaah!” semburnya begitu saja tanpa tau siapa yang meelepon dan saat Chika akan kembali terlelap, lagi-lagi handphonenya berdering.

“Halo ? Ini siapa ? Tau waktu nggak sih ?” katanya ketus pada pembicara di seberang sana.

“Chik ? banguuun woy! Ini gue, Nadia !” Suara heboh Nadia yang berteriak-teriak disana membuat mata Chika sedikit terangkat, maksudnya yaah, kenapa coba ada orang yang nelpon sampai begitu atusias jam 1 malem gini ? non sense!

“Lo kenapa sih Nad ? Gue mau tidur, beosk itu ulangan Sejarah dan gue belum selesai belajar, jadi please banget ya, lo nggak usah ganggu gue dengan hal-hala bodoh macam waktu lo nelpon gue jam 3 pagi buat nanya kapan ulang tahunnya Donghae atau apa bahasa Koreanya “gue sayang sama lo” ! Lo pikir gue apa ? Kamus idup ?” Chika setengah emosi menghadapi Nadia yang anehnya malah tertawa bahagia.

‘Bukan kali Chik, lo mah bukan kamus idup, tapi perpustakaan berjalan! Hahaha” Nadia malah terus menertawakan Chika.

Manyun dan sebal, Chika masih saja menjawab Nadia “Oke, sekarang apa yang mau lo tanyain ke perpustakaan 24 jam ini ? hah ? Ngomong gih !”

Nadia sedikit menghela napasnya sebelum akhirnya dia mengatakan “Chik, untuk pertama kalinya dalam hidup gue, selama 17 tahun ini, untuk pertama kalinya, bayangin Chik pertama kali! Gue …’

“Lo ngapain ? Lo mimisan ? Cacar air ? Atau lo abis ketemu sama Presiden Brunei?” Chika masih saja menggerutu karena tingkah Nadia yang menyebalkan.

“Jiaaah! Chikaa ! Brune mah nggak punya presiden Chik, punyanya Sultan, nggak update banget sih lo!” sindir Nadia yang semakin membuat Chika naik darah.

“Lo bener-bener ya Nad! Buruan deh mau ngomong apa ? Gue ngantuk nih!” teriak Chika frustasi. Nadia masih saja terkekeh membayangkan wajah sahabatnya yang pasti sekarang ini lebih sepet daripada badut di Kids Fun.

“Gue jatuh cinta Chika,” jawab Nadia pelan, seperti malu-malu.

Perkataan Nadia yang barusan sontak membuat Chika tergagap bangun dan histeris, “Lo ? Lo jatuh cinta Nad ? Serius ? AAAAH! Siaaal, gue over excited nih,! Hehehe, lo serius gitu ? Cieee Nadia, kenalin dooong! Lo jatuh cinta ma siapa sih Nad ? Roy / Bimo ?? atau anak IPA 3 itu ? iyaa ya Nad ? yang IPA 3 itu ? Siapa Nad namanya ? Ryan ? Ryan bukan sih ? eh ?” Chika yang memang punya penyakit over excited ini terus nyerocos tentang kemungkinan siapa saja yang ditaksir oleh Nadia.

Nadia tidak merespons semuanya sampai akhirnya Chika berhenti berhipotesis dan menyadari kalau harusnya dia memang diam dulu sampai cerita Nadia selesai.

“Bukan Chika sayaang. Bukan mereka semua, lagian aku kan enggak kenal sama si Ryan, Bimo atau Roy nggak jelas itu,” suara Nadia terdengar kalem dan teratur, tidak seperti biasanya yang suka nggak diatur nada dan intonasinya kalau lagi ngobrol.

“Mmm, bukan smeua yaa Nad ? terus siapa dong ?” suara Chika terdengar kecewa dan ingin tahu, Chika sebenernya tahu kalau Ryan suka sama Nadia, jadi dia berharap mendengar kalau Nadia juga suka sama Ryan, tapi ternyata bukan Ryan.

“Itu Chik.. Gue, emmm, gue jatuh cinta sama Baro,” sahut Nadia pelan.

Chika yang separuh sadar masih belum mengerti dan mencoba untuk memutar ulang ingatannya tentang setiap cowok kelas 3 di SMA Sentosa tempatnya sekolah, “Bara kali Nad ?? Di Sentosa nggak ada yang namanya Baro, adanya Bara, yang atlet voli itu, kelas IPS 5. Yang itu Nad ? aduuuh, jangan deh Nad, nggak banget pacaran sama orang yang jauh lebih cinta bola daripada ceweknya,” Chika mulai berasumsi tidak jelas lagi.

Nadia menghela nafas lagi.
“Chika, maksud gue bukan Bara. Tapi Baro, BARO B1A4!” kata Nadia keras.

Kesadaran Chika kembali mencapai angka 100% saat mendengarnya, tapi sejurus kemudian, Chika berharap itu semua tadi hanyalah mimpi buruk.





[novel] When My brother meet my best friend - Prologue


When my brother meet my best friend!



Prologue :

Kalau sahabatmu suka sama lawan jenisnya, apakah kamu akan diam saja ?
Hal ini tengah dialami oleh Chika, yang punya seorang sahabat perempuan yang sudah sejak keas 5 SD menjadi teman sebangkunya, dan sahabatnya itu belum pernah sekalipun merasakan yang namanya jatuh cinta. Kini, di usia mereka yang menginjak 17 tahun, Nadia, sahabatnya itu menemukan seorang pria yang menjadi tambatan hatinya.
Chika berusaha mati-matian untuk membantu Nadia menggapai cinta nya.
Tapi apa yang akan terjadi kalau pria yang diimpikan Nadia itu adalah Baro B1A4 ??


*B1A4 = sebuah band dari Korea Selatan yang salah satu anggotanya (Baro) sebagai rapper


[novel] CONFESSION - Part 1




Confession

Chapter 1


No one ever said that life was fair
And I’m not saying that it should be.

(Alesana –Congratulations, I Hate You)


Medan, 29 Juni 1991


“Diam kamu ! Kalau memang kamu tidak mau ikut aku pindah ke sini, ya jangan pernah menyalahkan aku, pulang sana kembali ke Jawa, pulang dan bawa anak sialan itu !” teriakan keras seseorang yang enggan kusebut ayah, waktu itu aku belum tau apa-apa. 1 bulan bukanlah usia dimana bayi kecil itu bisa mengerti.

Sang ibu hanya bisa menangis. Dan sedetik selanjutnya berteriak, “Kamu yang tidak bisa mengerti aku! Kamu yang egois! Ini anak kamu juga, anak kita, kamu piker kamu ini bukan bapaknya? Baiklah, aku pulang! Aku akan kembali dan bawa Axio pergi!!”

Kamu  pasti udah bisa nebak apa yang terjadi kan ?
1 bulan setelah Axio lahir, ibunya bertengkar dengan laki-laki yang darahnya (cih) mengalir juga di dalam tubuhnya. Umur ibunya masih kecil, 21 tahun dan sudah melahirkannya.

Dan laki-laki pemilik hotel ternama di Medan itu bahkan tidak memperlakukannya sepantasnya seorang suami mengasihi istrinya, juga tidak mengakui bahwa bayi kecil itu adalah putri kandungnya. Itu yang membuat Axio membenci ayahnya melebihi siapapun di dunia ini.





Denpasar, 12 April 2007

“Axee! Bangun!! Sekolah nggak kamu? Udah jam 7 lebih Axe !!” suara cempreng itu lagi. Suara yang nggak pernah bosen membangunkannya  tiap pagi.
“Bentar maa, Axe males nih. Toh udah telat juga, bikinin surat izin aja lah mah, bolos hari ini. Mau ke Bali Art Centre, ngelukis!” terdengar teriakan yang tak kalah kencang

Nah, benar kan, nggak perlu nunggu 5 menit buat mama melesat ke kamar di lantai 2 itu sambil membawa sendok nasi kayu yang sebentar lagi pasti dipukulkan ke pantat pemilik suara cempreng yang satunya.l

Bug !

“Aduh mama apaan sih, sakit tau!” Axio mengeluh sambil mengelus pantatnya yang sakit kena hantam sendok nasi nya mama.

“Axe, nggak ada ceritanya ya kamu bolos sampai 5 kali dalam sebulan! Kamu piker sekolah ini buat apa ?? Nyari gebetan ?? Seenaknya sendiri, mama tuh kerja sendirian buat biayain kamu sekolah, Axe!” mama terlihat sangat marah.

Well, emang ya ini bakal jadi kali ke-5 Axe bolos sekolah di bulan ini yang bahkan baru berjalan 12 hari, rekor baru Axe!

“Mah, mau gimanapun, aku udah telat kan ?? udah nggak bisa masuk ke sekolah juga, tau sendiri satpamnya lebih ganas dari anjing herder nya Om Soni,” elaknya. Hari ini dia benar-benar ingin melukis dan tidak mau menghadapi buku besar akuntansi yang mulai memuakkan itu.

“Nggak bisa! Kamu harus masuk, nanti loncat pagar kek, apa kek, yang penting bisa masuk ke sekolah. Bawa uang 50ribu juga pasti udah dikasih izin masuk sama satpamnya kok!” mama masih tidak mau kalah dan bahkan benar-benar menyodorkan selembar kertas biru bergambar Pura di Bedugul itu, “Nih! Bawa ini, kasih deh ke pak satpam!”

Gadis tomboy itu  menguap lebar dan kembali menarik selimut tebal yang dibelinya Sukowati 3 tahun lalu.Dan hal itu sukses membuat 2 pukulan lagi mendarat di, err, lagi lagi pantatnya.


“Ma, sekali ini aja Axe bolos, udah deh janji ini yang terakhir, yaaa?” Axe mulai memasang wajah innocent dan menyuarakannya dengan intonasi memohon yang terlalu dibuat-buat.
Mama sepertinya mengaku kalah secara tersirat dan mulai melangkah keluar kamar.

“Maaah ! Uang 50ribunya mana ?? Sekalian ntar Axe mau beli kuas baruu!” teriaknya yang dibalas dengan sendok nasi yang sukses mengenai kening Axe. Oke, sepertinya itu tanda kalau dia harus berbaring lebih lama lagi, pusing.




Bali .
Everyday is holiday in Bali.
Itu sih kata Joger, tapi kalau kamu Tanya kepada seorang Axio Viandra, everyday is such a silly thing in Bali.

Bukan, bukan karena Axe nggak suka Bali. Gila aja, siapa sih yang bisa benci sama pulau mungil, indah, rapi, tertata, bersih, nyaman, banyak turis seliweran dan puluhan objek pariwisata ternama macam ini ??

Dan siapa yang nggak suka tinggal di Provinsi yang bahkan jauh lebih terkenal dari pada negaranya sendiri?

Hahaha, silly banget kan ?
Axe pernah punya teman Skype dari Hongaria yang tampak terkejut saat tau bahwa dia dari Indonesia dan seolah-olah itu sebuah hal yang wajar, dia bertanya :

Kruvitton_whalme : Wow, Indonesia ? This is the first time I hear about that country. What is the color of your national flag ?

Axeaxechocolate : hmm. Red and white flag.

Kruvitton_whalme : just like a Poland ? Is it near from Poland?

Axeaxechocolate : definitely not ! Indonesia is so far away from Poland. J Have you ever gone to Bali ??

Kruivitton_whalme : Of course ! I often go to Bali. That place was so beautiful and always be. So, where is Indonesia ? Is it still far away from Bali ?

Axeaxechocolate : you wish! Bali was one of 34 states in Indonesia (-,-“)

Kenapa ? Penasaran dengan balasan dari si Hongaria aneh itu ? You wish! Tapi Axe toh terlanjur sign out dari Skype karena males banget sama pertanyaan-pertanyaan irasional nya Kruppukton itu tentang Indonesia. Absurd banget sumpah .

Itu baru alasan pertama kenapa buat dia, hari-hari di Bali ini konyol.
Just follow me and I’ll show you more reasons.

Sepeda lipat hijau metalik itu sudah melucur sempurna di jalanan menuju Bali Art Center. Tempat itu asik sekali dengan banyaknya pohon, bangunan pura yang sangat artistic, sebuah suangai yang membelah kawasan itu, galeri seni nya, dan taman-taman indahnya. Tempat yang sangat tepat untuk mencari inspirasi yang bisa  dituangkan ke dalam kanvas-kanvas kosong di carrierya.

Overseas and coast to coast
To find a place I love the most
Where the sky is blue, to see you once again
My Love

Suara cempreng itu  mendengdangkan lagu yang diputarkan oleh dadu pemutar musik yang terselip di saku jaket adidas belelnya
Axe maniak Westlife.
Axe maniak Simple Plan juga Coldplay.

Sambil terus nyanyi bareng Mark dan Nick, kakinya mengayun cepat sepeda tercinta itu.
Sampai.

Bali Art Center

Sebuah lokasi sempurna untuk penikmat seni, menurutnya sih. Axe sendiri tidak terlalu tahu tentang seni, dia hanya suka melukis dan di tempat ini, ide selalu mengalir sejalan dengan sungai di sini.

“Mbak Axio, kok jam segini mau melukis ? Lagi libur semesteran ya?’ seorang wanita paruh baya dengan dandanan dan baju khas Bali itu menyapanya ramah. Di tangannya terlihar sebuah baki sesajen yang pastinya akan di letakkan di sudut-sudut tertentu.
“Enggak, aku bolos, hehe”sambil terkekeh Axe melewatinya dan bergegas pergi ke tempat langgananya yang ……
Holy shit!
Sudah dikuasai secara semena-mena oleh seorang turis Asia, entah Jepang atau Korea, yang jelas Axe lebih berharap dia dari Korea Utara, jadi bisa mengajarinya merangkai bom nuklir untuk menghancurkannya di tempat.
Balasan karena sudah menduduki bangku istimewa itu !

Maksudnya, benar-benar istimewa, karena bangku itu diletakkan khusus disitu oleh Bli Made Korakora hanya untuknya ! Cek saja coretan hijau yang jika dibaca secara seksama akan berbunyi “Axe” itu, batin Axe geram.

Axe  baru akan melangkah mencari tempat lain saat manusia dengan kulit seputih susu dan kurus itu meneriakkan sesuatu yang tidak ku ketahui. Axe tak menoleh, tapi lagi-lagi dia berteriak,

Cogiyo! Cogiyo noona!!”

Axe pun menoleh, menghampirinya, “Excuse me Sir, I don’t understand about what you just said. Speak in English please?”
Bukankah ini sebuah keharusan bagi setiap orang di Bali untuk menguasai Bahasa Inggris, berbanding lurus dengan banyaknya turis yang kami temui setiap hari.

Laku-laki di depannya itu tampak bingung. Dia terlihat jauh lebih tua dari pada aku yang 16 tahun ini, mungkin sudah 23 tahun, Hmm, tua sekali yaa ternyata,. Memikirkan itu keningnya jadi berkerut dan mulutnya sudah monyong ke depan.

Yaa, wae irae ??” katanya lagi.

Axe hanya menghela nafas dan memegang kepalanya, haish, migrain!

Laki-laki yang tidak bisa bahasa Inggris sama sekali itu pasti tersesat, pikir Axe konyol.

“Han Ji Sung”, katanya sambil menglurukan tangannya, “Ireumi mwoeyo?”

Oh siaaal!
Axe sama sekali nggak ngerti dia ngomong apa. Tapi karena tadi dia bilang Ji Sung yang pastinya itu nama, Axe pun membalas uluran tangannya.

“Axio Viandra. Aneh ya namaku? Kaya merk laptop,” katanya sambil tertawa.

Dia juga tertawa dan dia…
Ehm.
Tampan juga. Bukaan, bukan tampan yang seperti orang Korea di posternya Alodia, temannya yang Korean Freak itu, bukan yang kaya 13 cowok itu, tapi dia lebih seperti hasil kawin silang antara Korea dengan Indonesia.
Sadar dia baru saja memikirkan hal yang tidak sepantasnya, Axe kembali ke dunia nyata.

“Hei, aku tidak tau sama sekali bahasa Korea, apa kamu juga tidak bisa bicara dalam bahasa Inggris?” tanyaku.

Ji Sung menggeleng pelan dan merapikan poninya yang terjatuh menutupi matanya.
Axe sendiri bingung harus bagaimana, tapi gadis yang di saku celananya penuh kuas itu lantas mengeluarkan easel lipat yang dibuatkan oleh Bli Agung, tetangganya dan juga menata kanvas diatasnya.

“Kamu pelukis ya?” sapa Jisung dalam bahasa Kore yang masih tidak dipahami Axe.

Acuh saja Axe mengangguk dan mulai mencari bidikan saat tiba-tiba Jisung berdiri dibalik kanvasnya sambil menunjuk wajahnya sendiri.

“Kamu mau dilukis ?” Axe menahan tawa, geli. “Oke, duduk disana, dan bergayalah sesukamu”

Ji Sung duduk di seberang Axe dan bergaya dengan sangat aneh, jari tengah dan jari telunjuk membentuk huruf V, dan sedikit memanyunkan mulutnya.

“Bisakah kau bergaya yang normal sajaa ?’ Axe bertanya setengah berteriak.

Tapi Han Ji Sung tak bergerak, dan tetap pada pose nya yang semula. Tak tahan, Axe mendekatinya dan membetulkan posisi Jisung agar senormal mungkin.

“Kalau kamu bergaya kaya gitu, yang pegel kan juga kamu,” omel Axe sambil memegang tangan Jisung dan meletakkannya di atas bangku. Tangannya hangat sekali, dan nyaman.. lagi-lagi Axe memikirkan yang tidak-tidak. Hal itu jelas membuatnya gusar. Karena itu untuk kali pertama dia merasakan hal yang berbeda saat menyentuh tangan seorang laki-laki. Axe toh belum pernah punya pacar sebelumnya.

Ppali wa!” Ji Sung mulai tampak tidak sabar karena Axe berkali-kali membetulkan posisinya sementara dia ingin bergaya sesuai kehendak hatinya.

“Heh ! Diem deh, susah banget diaturnyaa, gini nih, udah nggak mudeng kamu maunya gimana, nggak paham kamu ngomong apa! Mending ngelukis yang lain ajalah kalau gitu,” seru Axe setengah frustasi sambil mulai mengemasi barang-barangnya.

Orang bilang, seorang seniman, khususnya pelukis itu sabar, indah, dan selalu terlihat eksentrik. Tapi hal itu tidak berlaku untuk gadis aneh ini. Dia sama sekali tidak sabar, tapi indah dan eksentrik.

Dia merasakan sesuatu menahan pergelangannya, tangan yang hangat itu. Tangan yang memakai gelang tali itu menahannya. Meluluhkan semua emosi Axe saat itu juga.

Yaa, kajima Akse, mianhae”, Jisung masih memegang tangan gadis di depannya itu.

Sontak Axe tertawa keras, “Hhahaha, kamu ini lucu sekali. Namaku kan Axe, tapi kamu bahkan mengatakannya seolah-olah namaku Akse, bukan Axe. Huu,” Axe mencubit pelan laki-laki itu. Aneh, ini kan baru pertama kali dia bertemu dengan cowok itu, tapi kenapa rasanya sudah sangat nyaman, akrab, bahkan di tengah perbedaan bahasa yang membuat mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik itu.

Axe membalik badannya dan kembali mengeluarkan easel nya. Kali ini Jisung berpose seperti seorang cowok yang sok keren dan  macho yang diam, meletakkan kedua tangannya di bangku tempat ia duduk, dan tampak merenung. Meski wajahnya konyol, toh Axe tetap mengaguminya dalam hati.

Melukis seseorang, membuat sketsa wajahnya, itu sama dengan kamu harus mengamati setiap inch lekuk wajahnya. Mengamati mata Jisung yang sedikit lebar, hidungnya yang proporsional dan senyum nya yang membuatnya tenang.

Love at the first time?
Axe langsung membuang semua pikiran itu jauh-jauh. Kalaupun dia pengen jatuh cinta, setidaknya sama orang Indonesia deh biar tau bahasanya. Axe tersenyum kecil.

Yaa! Neo micheosso? Kenapa senyum-senyum sendiri?” Jisung berteriak karena melihat Axe yang tersenyum dan kadang tertawa sendiri.

“Eh orang Korea, terserah ya mau ngomong apa, aku nggak ngerti,” balasnya sambil menjulurkan lidah.

Sebetulnya, lukisan wajah Han Ji Sung itu sudah selesai dibuat, bagi seorang seperti Axe, melukis wajah tidak perlu waktu yang lama, tapi juga belum pernah secepat itu. Bahkan kurang dari 2 jam, Axe sudah hafal betul tiap inch dari wajah Ji Sung yang dibuat Tuhan begitu menyenangkan untuk dilihat.

Jisung sontak berdiri mendekati Axe dan saat melihat kanvas yang tadinya kosong itu sudah berisi lukisan wajahnya, ia berseru “Wooow! Daebak!! Akse jjang!” sambil mengacak rambut Axe.
Axe mendongak, Jisung tinggi, jadi dia kalah jauh deh.
Jisung melihat jam tangannya lalu mengambil lukisan itu dan melambaikan tangannya ke Axe.

Annyeeong Akse!” serunya sambil berjalan menjauh.

“Begitu saja? Sudah? Benar-benar hanya seperti itu? Begitukah cara cowok Korea mencampakkan gadis manis seperti aku yang bahkan sudah melukis untuknya? Tidak ada terimakasih ? Tidak ada es teh atau es krim ?” Axe terus menggerutu. Oke, mungkin menyukai Jisung harus dipertimbangkan 1000 kali lagi.




DICTIONARY KOREA - INDONESIA for CHAPTER 1

1) cogiyo : permisi (untuk memanggil seseorang)
2) wae irae ? : kenapa sih ?
3) Ireumi mwoeyo ? : nama anda siapa ??
4) ppaliwa! : cepetan dong
5) kajima : jangan pergi
6) mianhae : maaf
7) daebak : hebat
8) jjang : keren;hebat